makalah tentang PRAPERADILAN, GANTI RUGI DAN REHABILITASI

KELOMPOK 5
MAKALAH HUKUM ACARA PIDANA
PRAPERADILAN, GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA


NAMA ANGGOTA :
ILHAM KURNIADI                        : PENULIS MAKALAH
RAMADINA UMARO                    : POWER POINT
SYAFIRA SALSABILLA               : EDITOR
M. IQBAL RAHMAN                     : PRESENTATOR
SATRIA BUDI PERKASA             : PRESENTATOR






POLITEKNIK ILMU PEMASYARAKATAN
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
2017





KATA PENGANTAR


Segala Puja-Puji Syukur dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang PRAPERADILAN, GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana. Dengan adanya makalah ini, diharapkan Taruna dapat mengetahui tentang Praperadilan, Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Acara Pidana
Oleh Karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat diharapkan, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya khususnya Taruna Poltekip.
Diucapkan maaf apabila masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini.


Depok,        September  2017



          PENULIS











DAFTAR ISI
                                                                                                                                                                             Halaman


KATA PENGANTAR ………………………..……………..…………................……i        

DAFTAR ISI …….………………………...…………………………………..            ii               
BAB I PENDAHULUAN
1.1       Latar belakang            ........................................................................... 1
1.2       Rumusan masalah……..…………….……………...………………….2
1.3       Tujuan Penulisan………………………………....……………............ 2
BAB II PEMBAHASAN
            2.1       Pengertian Praperadilan menurut KUHAP…...……………..3
            2.2       Kedudukan praperadilan menurut KUHAP..……………......            5
            2.3       Ruang lingkup praperadilan menurut KUHAP.…....…..…...            7
            2.4       Pengertian Ganti Kerugian.…………………..…….………....            7
            2.5       Cara pelaksanaan ganti kerugian dalam hukum acara pidana.....  10
            2.6       Pengertian Rehabilitasi…..…………………………………………..14
BAB III PENUTUP
3.1       Kesimpulan……..………...………………………………………... 12
3.2       Saran..……...…...…………………………………………………... 18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………........  19       

  

BAB II

PENDAHULUAN

1.1         LATAR BELAKANG
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya.
Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang dinamakan praperadilan.
Munculnya lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia. Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.
     Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pidana. Dalam setiap kasus yang dijalani pastinya ada disebut ganti kerugian didalam hukum pidana dan diatur dalam hukum acara pidana bila mana si korban mengalami kerugian, baik itu materil maupun fisik. Serta bagian dalam hukum acara pidana tentu juga diatur mengenai rehabilitasi, baik itu psikologi maupun ketergantungan sebuah obat-obat terlarang. Dalam makalah ini, akan dibahas kedua pokok masalah tersebut.

1.2         RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan diatas, maka masalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut :
1.      Apakah yang dimaksud dengan praperadilan menurut KUHAP?
2.      Bagaimana kedudukan praperadilan menurut KUHAP?
3.      Bagaimana ruang lingkup praperadilan menurut KUHAP?
4.      Apa yang dimaksud Ganti Kerugian?
5.      Bagaimana cara pelaksanaan ganti kerugian dalam hukum acara pidana?
6.      Apakah yang dimaksud dengan rehabilitasi?

1.3         TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan pemaparan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah sabagai berikut :
1.       Untuk mengetahui acara praperadilan menurut KUHAP
2.       Untuk mengetahui kedudukan praperadilan menurut KUHAP
3.       Untuk mengetahui ruang lingkup praperadilan menurut KUHAP
4.       Untuk mengetahui maksud dari ganti kerugian
5.       Untuk mengetahui cara pelaksanaan ganti kerugian dalam hukum acara pidana
6.       Untuk mengetahui maksud dari rehabilitasi









BAB II
PEMBAHASAN

2.1     PENGERTIAN PRAPERADILAN
Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut Hartono, Pengertian Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja.
Adapun yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah materi perkara tersebut, misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara korupsi. Praperadilan adalah media persidangan untuk menguji apakah peraturan perundang-undangan itu telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik polri, termasuk penyidik pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praperadilan, yang disidangkan atau dalam istilah hukumnya yang diuji adalah masalah tata cara penyidikannya. Contohnya : ketika menangkap tersangka korupsi, apakah yang ditangkap itu betul-betul pelaku korupsi sebagaimana dimaksud dalam laporannya. Selanjutnya, dalam penahanan atau apakah penahanan itu tidak melanggar hukum karena telah lewat waktu penahanannya, apakah keluarga tersangka juga sudah dikirimi pemberitahuan mengenai tindakan penangkapan dan tindakan penahanan.
Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang mid-delen)¸ penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat. Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain itu, kalau hakim komisaris di negri Belanda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis, mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkata cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alas an, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alas an, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. Namun demikian, menurut Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa.
Menurut KUHAP, tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum. Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang.
Tugas praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut.
1.       Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
2.       Ganti kerugian dan atau rehabilitas bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok sebagai berikut.
1.       Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
2.       Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
3.       Permintaan ganti rugi atau rehabilitas akibat tidak sahnya penagkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

2.2         KEDUDUKAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan Praperadilan sebagai pelaksana wewenang Pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan tentang sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan serta tentang ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam hal hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan Penyidik adalah tidak sah, maka hakim Praperadilan berwenang untuk:
1.      Memerintahkan pembebasan tersangka (Pasal 82 ayat (3) sub a) dan menentukan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi;
2.      Menetapkan rehabilitasi saja apabila tersangka tidak ditahan;
3.       Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang dihentikan) dilanjutkan;
4.      Supaya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu disita.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak berbeda dengan proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda dengan proses pidana umum dan khusus, proses Praperadilan tidak mengenal penuntut umum. Kedudukan lembaga Praperadilan dalam hubungan ini dapat disamakan dengan kedudukan hakim Pengadilan Ekonomi yang juga ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, juga mempunyai wewenang khusus dan terbatas yakni mengadili perkara tindak pidana ekonomi semata-mata, dan mempunyai acara yang agak menyimpang dari hukum acara pidana umum (KUHAP). Pemeriksaan dan pengadilan tindak pidana ekonomi diatur dalam undang-undang tersendiri, hal ini juga dapat dilakukan dengan lembaga Praperadilan, tetapi pembuat Undang-undang telah mengaturnya dalam KUHAP. Tetapi meskipun demikian hakekatnya, kedua lembaga tersebut tetap sama saja, memeriksa dan memutus perkara tindakan melawan hukum yang khusus.
Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa dalam hal-hal perkara-perkara tindakan-tindakan pidana ekonomi, korupsi dan subversi, lembaga Praperadilan tidak berlaku. Dapat juga dicatat, bahwa putusan Praperadilan adalah final, tidak dapat dibanding (atau dikasasikan) kecuali dalam hal putusan yang menetapkan penghentian penyidikan dan pengusutan adalah tidak sah. Baik Pasal ini maupun Pasal lain di KUHAP tidak menjelaskan apakah pemeriksaan ditingkat banding ini juga harus mematuhi proses yang singkat seperti proses Praperadilan, dan tidak jelas pula bagaimana harus dilakukan terhadap tersangka yang sudah dibebaskan oleh penyidik atau penuntut umum; dibiarkan bebas atau harus atau bisa ditahan kembali. Kedudukan hakim Praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama dengan kedudukan hakim dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-duanya harus tunduk dan menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan memutus perkara dalam sidang Praperadilan. Karena hakim Praperadilan adalah hakim dalam lingkungan peradilan umum, maka sudah tentu berlaku juga baginya Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Akhirnya kita juga dapat melihat lembaga Praperadilan sebagai suatu upaya hukum luar biasa (buitengewon rechts middel) bagi tersangka untuk memperoleh kepastian hukum dan keadilan.

2.3         RUANG LINGKUP PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
1.         Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.         Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-undang.

2.4     PENGERTIAN GANTI KERUGIAN (PASAL 95 DAN 96 KUHAP)
Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibahas adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti.
Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.
Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Ganti kerugian merupakan hal baru yang diatur dalam hukum acara pidana Indonesia, meskipun sebenarnya jauh sebelum KUHAP diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 9 ayat (1) telah mengaturnya: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Kemudian ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
Berkenaan dengan masalah ganti kerugian tersebut di atas maka dalam pelaksanaannya akan timbul permasalahan sebagai berikut :
1.    Kepada siapa tuntutan ganti kerugian ditujukan dan dibebankan; oleh karena yang melakukan tindakan adalah aparat negara maka sudah sepatutnya apabila tuntutan tersebut diajukan kepada negara/pemerintah.
2.    Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan jumlah ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan maksimum Rp 1.000.000,- dalam hal tindakan aparat sehingga menyebabkan yang bersangkutan mengalami sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya atau mati maka besarnya imbalan uang, maksimum adalah Rp 3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31 Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.
3.    Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian; KUHAP tidak mengatur hal tersebut, tetapi diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal tindakan keliru dari aparat penegak hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3 bulan dan sejak saat pemberitahuan penetapan Praperadilan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 KUHAP.

Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian
1.    Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.
2.    Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.
3.    Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan atau pentuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang tidak sah tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).

2.5     CARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian  juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas dirinya tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan (sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka dia, karena KUHAP menentukan  jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).  Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,.
Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut. Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam  jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam  jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama.
Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian. Setelah penetapan dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat yang memeriksa perkara tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada menteri kehakiman c.q. sekretaris  jenderal depkeh yang selanjutnya akan meneruskan kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.
Ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain adanya penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui praperadilan. Tapi tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan permintaan ganti kerugian yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal 1 juta rupiah, sementara kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu maksimalnya 3 juta rupiah.
Prosedur untuk permintaan ganti kerugian melalui praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan praperadilan. Sementara prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan itu diajukan kepada PN yang memeriksa perkara atau kasus tersebut. Dasar hukum adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan, pembunuhan.
Intinya adalah kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan korban tersebut mendapatkan kerugian. Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara pidana. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian tersebut. Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara perdata, namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.  Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit, maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika korban mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat, maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara perdata biasa dan tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan oleh banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja yang menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan. Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan ganti kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat perkara pidana ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat. Ganti kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya sendiri melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan permohonan ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang terjadi.
Dalam persidangan dengan acara cepat (seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik, penghinaan ringan, tindak pidana ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum, korban dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim memutus perkara tersebut. Dalam hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian itu dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggill terpidana untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu atau tidak bisa membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak milik terpidana sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat menetapkan penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak.
Jadi dalam eksekusi pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu dengan juru sita. Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya, korban dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah untuk mengajukan secara perdata.
Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa mengajukan secara perdata.

2.6       PENGERTIAN REHABILITASI
Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui proses persidangan biasa maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila permohonan pemohon dalam praperadilan dikabulkan pengadilan, maka dalam amar putusan harus dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”.
Jadi bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya.

























BAB III
PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
Hukum acara pidana merupakan hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui organ-organnya melaksanakan fungsi dan kewenangannya untuk memproses, dan menjatuhkan pidana kepada siapa yang terbukti melakukan tindak pidana. Dengan kata lain hukum acara pidana adalah hokum yang mengatur tentang proses peradilan pidana atau dapat pula disebut aturan hukum pidana yang dibentuk untuk mempertahankan hokum pidana materiil.
Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan umum dengan wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang agak berbeda dengan proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah, berbeda dengan proses pidana umum dan khusus, proses Praperadilan tidak mengenal penuntut umum.
Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
1.         Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.         Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan, dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-undang.
Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia.
Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian  juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui proses persidangan biasa maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.

3.2     SARAN
          Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
















DAFTAR PUSTAKA

Andi Sofyan. 2013. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: PT. Rangkang
Education
Hamzah Andi. 2007. KUHP&KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2003.
Ratna Nurul Alfiah. 1986. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika Presindo.
Yahya, Harahap, M, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, 2002


 








Komentar

  1. Jammin' Jars Casino | Jackson, MS Jobs | JetBlue
    Jammin Jars 계룡 출장안마 Casino 익산 출장마사지 · 거제 출장안마 Additional 전주 출장안마 details. Phone: 877-861-7777. Jobs available: 1-800-765-7100. Jax: 상주 출장안마 877-861-7777.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

catatan ketika konferensi Kepenjaraan di Lembang