makalah tentang PRAPERADILAN, GANTI RUGI DAN REHABILITASI
KELOMPOK 5
MAKALAH HUKUM ACARA PIDANA
PRAPERADILAN, GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA
NAMA ANGGOTA :
ILHAM KURNIADI : PENULIS MAKALAH
RAMADINA UMARO :
POWER POINT
SYAFIRA SALSABILLA : EDITOR
M. IQBAL RAHMAN :
PRESENTATOR
SATRIA BUDI PERKASA : PRESENTATOR
POLITEKNIK
ILMU PEMASYARAKATAN
BADAN
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
2017
KATA PENGANTAR
Segala Puja-Puji Syukur dipanjatkan
kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang PRAPERADILAN, GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI DALAM
HUKUM ACARA PIDANA
Makalah ini disusun untuk melengkapi
tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana. Dengan
adanya makalah ini, diharapkan Taruna dapat
mengetahui tentang Praperadilan,
Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Acara Pidana
Oleh Karena itu
saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat diharapkan,
sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya khususnya Taruna Poltekip.
Diucapkan maaf apabila masih terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan
makalah ini.
Depok,
September 2017
PENULIS
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR ………………………..……………..…………................……i
DAFTAR ISI …….………………………...………………………………….. ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan
masalah……..…………….……………...………………….2
1.3 Tujuan
Penulisan………………………………....……………............ 2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Praperadilan menurut KUHAP………...………………..3
2.2 Kedudukan
praperadilan menurut KUHAP..……………...... 5
2.3 Ruang
lingkup praperadilan menurut KUHAP.…....…..…... 7
2.4 Pengertian
Ganti Kerugian.…………………..…….……….... 7
2.5 Cara pelaksanaan ganti
kerugian dalam hukum acara pidana..... 10
2.6 Pengertian
Rehabilitasi…..…………………………………………..14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan……..………...………………………………………... 12
3.2 Saran..……...…...…………………………………………………... 18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………........ 19
BAB
II
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Seperti yang
sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak
pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum
untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan
dan sebagainya.
Seorang aparat
sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari
kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang
berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi
terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru mengakibatkan kerugian
bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh
karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur
negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka
KUHAP mengatur sebuah lembaga yang dinamakan praperadilan.
Munculnya
lembaga praperadilan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip
dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus
jaminan fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan atau
gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan
bahwa penahanan itu benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi
hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru dilimpahkan KUHAP
kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.
Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur
bagaimana Negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya
untuk memidana atau membebaskan pidana. Dalam setiap kasus yang dijalani
pastinya ada disebut ganti kerugian didalam hukum pidana dan diatur dalam hukum
acara pidana bila mana si korban mengalami kerugian, baik itu materil maupun
fisik. Serta bagian dalam hukum acara pidana tentu juga diatur mengenai
rehabilitasi, baik itu psikologi maupun ketergantungan sebuah obat-obat
terlarang. Dalam makalah ini, akan dibahas kedua pokok masalah tersebut.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
paparan diatas, maka masalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut :
1. Apakah
yang dimaksud dengan praperadilan menurut KUHAP?
2. Bagaimana
kedudukan praperadilan menurut KUHAP?
3. Bagaimana
ruang lingkup praperadilan menurut KUHAP?
4. Apa
yang dimaksud Ganti Kerugian?
5. Bagaimana
cara pelaksanaan ganti kerugian dalam hukum acara pidana?
6. Apakah
yang dimaksud dengan rehabilitasi?
1.3
TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan pemaparan diatas, maka
tujuan dari penulisan makalah ini ialah sabagai berikut :
1. Untuk
mengetahui acara praperadilan menurut KUHAP
2. Untuk
mengetahui kedudukan praperadilan menurut KUHAP
3. Untuk
mengetahui ruang lingkup praperadilan menurut KUHAP
4. Untuk
mengetahui maksud dari ganti kerugian
5. Untuk
mengetahui cara pelaksanaan ganti kerugian dalam hukum acara pidana
6. Untuk
mengetahui maksud dari rehabilitasi
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN PRAPERADILAN
Pra artinya
sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut Hartono, Pengertian Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang
masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara
materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses
tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja.
Adapun yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah
materi perkara tersebut, misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah
perkara korupsi. Praperadilan
adalah media persidangan untuk menguji apakah peraturan perundang-undangan itu
telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik polri, termasuk penyidik
pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam praperadilan, yang
disidangkan atau dalam istilah hukumnya yang diuji adalah masalah tata cara
penyidikannya. Contohnya : ketika menangkap tersangka korupsi, apakah yang
ditangkap itu betul-betul pelaku korupsi sebagaimana dimaksud dalam laporannya.
Selanjutnya, dalam penahanan atau apakah penahanan itu tidak melanggar hukum
karena telah lewat waktu penahanannya, apakah keluarga tersangka juga sudah
dikirimi pemberitahuan mengenai tindakan penangkapan dan tindakan penahanan.
Di
Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang benar-benar
melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim komisaris (Rechter
commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis benar-benar
dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan,
penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu
perkara.
Menurut
Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissris (hakim yang memimpin pemeriksaan
pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah
mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa
(dwang mid-delen)¸ penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan
pemeriksaan surat-surat. Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai
wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai
sah tidaknya suatu penangkapan, penahan seperti praperadilan, juga sah atau
tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain
itu, kalau hakim komisaris di negri Belanda melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap
pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan
terhadap kedua instansi tersebut. Begitu pula Judge d’Instruction di Prancis,
mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia dapat membuat
berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu. Setelah
pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu
perkata cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup
alas an, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang
disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alas an, ia akan
membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu. Namun demikian, menurut
Siahaan, tidak semua perkata harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya
perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya.
Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya
dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-petunjuk jaksa.
Menurut
KUHAP, tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan
pendahuluan atau memimpinnya. Hakim pra-peradilan tidak melakukan pemeriksaan
pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan
pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan ataukah
tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan
diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum.
Seperti telah disebut di muka dominus litis adalah jaksa. Bahkan tidak ada
kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah tidaknya suatu penggeledahan
dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. Padahal kedua hal itu
sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia.
Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah
tempat kediaman orang. Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran
serius terhadap hak milik orang.
Tugas
praperadilan diIndonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan dengan pasal
77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa
dan memutus tentang berikut.
1. Sah tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitas
bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan, adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang
ditunjuk oleh pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Dalam pasal 79,80,81 diperinci tugas
praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok sebagai berikut.
1. Permintaan pemeriksaan tentang sah
atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka,
keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya
2. Permintaan untuk memeriksa sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan, atau penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya
3. Permintaan ganti rugi atau
rehabilitas akibat tidak sahnya penagkapan atau penahanan atau akibat sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan diaajukan oleh tersangka atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya.
2.2
KEDUDUKAN PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Pasal 78 ayat (1) KUHAP menetapkan
Praperadilan sebagai pelaksana wewenang Pengadilan untuk memeriksa dan
memutuskan tentang sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, dan penghentian penuntutan serta tentang ganti rugi dan rehabilitasi.
Dalam hal hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan Penyidik
adalah tidak sah, maka hakim Praperadilan berwenang untuk:
1.
Memerintahkan pembebasan tersangka (Pasal 82
ayat (3) sub a) dan menentukan jumlah besarnya ganti rugi dan rehabilitasi;
2.
Menetapkan rehabilitasi saja apabila
tersangka tidak ditahan;
3.
Menetapkan penyidikan dan penuntutan (yang
dihentikan) dilanjutkan;
4.
Supaya benda yang disita yang tidak termasuk
alat pembuktian, dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa
benda itu disita.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas,
maka dapat dikatakan bahwa kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu
pengadilan umum dengan wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara
sendiri yang agak berbeda dengan proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat
adalah, berbeda dengan proses pidana umum dan khusus, proses Praperadilan tidak
mengenal penuntut umum. Kedudukan lembaga Praperadilan dalam hubungan ini dapat
disamakan dengan kedudukan hakim Pengadilan Ekonomi yang juga ditetapkan oleh
Pengadilan Negeri, juga mempunyai wewenang khusus dan terbatas yakni mengadili
perkara tindak pidana ekonomi semata-mata, dan mempunyai acara yang agak
menyimpang dari hukum acara pidana umum (KUHAP). Pemeriksaan dan pengadilan
tindak pidana ekonomi diatur dalam undang-undang tersendiri, hal ini juga dapat
dilakukan dengan lembaga Praperadilan, tetapi pembuat Undang-undang telah
mengaturnya dalam KUHAP. Tetapi meskipun demikian hakekatnya, kedua lembaga
tersebut tetap sama saja, memeriksa dan memutus perkara tindakan melawan hukum
yang khusus.
Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa dalam
hal-hal perkara-perkara tindakan-tindakan pidana ekonomi, korupsi dan subversi,
lembaga Praperadilan tidak berlaku. Dapat juga dicatat, bahwa putusan
Praperadilan adalah final, tidak dapat dibanding (atau dikasasikan) kecuali
dalam hal putusan yang menetapkan penghentian penyidikan dan pengusutan adalah
tidak sah. Baik Pasal ini maupun Pasal lain di KUHAP tidak menjelaskan apakah
pemeriksaan ditingkat banding ini juga harus mematuhi proses yang singkat
seperti proses Praperadilan, dan tidak jelas pula bagaimana harus dilakukan
terhadap tersangka yang sudah dibebaskan oleh penyidik atau penuntut umum;
dibiarkan bebas atau harus atau bisa ditahan kembali. Kedudukan hakim
Praperadilan dalam KUHAP pada hakekatnya adalah sama dengan kedudukan hakim
dalam mengadili perkara pidana biasa, dalam arti kedua-duanya harus tunduk dan
menerapkan ketentuan-ketentuan KUHAP dalam memeriksa dan memutus perkara dalam
sidang Praperadilan. Karena hakim Praperadilan adalah hakim dalam lingkungan
peradilan umum, maka sudah tentu berlaku juga baginya Undang-undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970). Akhirnya kita juga
dapat melihat lembaga Praperadilan sebagai suatu upaya hukum luar biasa
(buitengewon rechts middel) bagi tersangka untuk memperoleh kepastian hukum dan
keadilan.
2.3
RUANG LINGKUP PRAPERADILAN MENURUT KUHAP
Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan
berdasarkan Pasal 77 KUHAP adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa
dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
1.
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.
Ganti kerugian atau rehabilitasi yang
berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal
sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan,
dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-undang.
2.4 PENGERTIAN GANTI KERUGIAN (PASAL
95 DAN 96 KUHAP)
Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak
seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan
sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1
butir ke-22 KUHAP).
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan
pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang
lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian
ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibahas adalah
ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata
lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian
dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian
yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa
dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup
kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang
bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang,
mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan
kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang
tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti.
Sedangkan
ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah
dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti
kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena
perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Dalam
ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak
mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum
itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun
penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan
gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah
diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka
dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah
dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam
jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap
(diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3
bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Apabila
permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun
penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita
mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1)
KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan
permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya
mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,.
Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang
dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah
menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan
tersebut.
Jika
terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam
jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap.
Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus
menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah
ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu
menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada
prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya
karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan
ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang
pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah
ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Ganti kerugian merupakan hal baru yang diatur dalam
hukum acara pidana Indonesia, meskipun sebenarnya jauh sebelum KUHAP
diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 9 ayat (1) telah mengaturnya: “Setiap
orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Kemudian
ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
Berkenaan dengan masalah ganti kerugian tersebut di
atas maka dalam pelaksanaannya akan timbul permasalahan sebagai berikut :
1.
Kepada siapa tuntutan ganti kerugian ditujukan dan
dibebankan; oleh karena yang melakukan tindakan adalah aparat negara maka sudah
sepatutnya apabila tuntutan tersebut diajukan kepada negara/pemerintah.
2.
Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal 9 PP No. 27
Tahun 1983 menentukan jumlah ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan maksimum Rp
1.000.000,- dalam hal tindakan aparat sehingga menyebabkan yang bersangkutan
mengalami sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya atau
mati maka besarnya imbalan uang, maksimum adalah Rp 3.000.000,- jo Keputusan
Menkeu tgl. 31 Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.
3.
Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti
kerugian; KUHAP tidak mengatur hal tersebut, tetapi diatur dalam PP No. 27
Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap dalam hal tindakan keliru dari aparat penegak hukum sebagaimana
disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3 bulan dan sejak saat pemberitahuan
penetapan Praperadilan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 KUHAP.
Bentuk-Bentuk
Ganti Kerugian
1.
Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan
atau penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak
sah, didalamnya hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua
tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara
merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.
2.
Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat
pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan
yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian
penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan atau
tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan ganti
kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair,
pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair
atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.
3.
Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan
atau pentuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan
lain yang tidak berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti
kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada
tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan
menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang
tidak sah tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan
ganti kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).
2.5 CARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN
DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Dalam
ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak
mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum
itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun
penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan
gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah
diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa
mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini
karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu
3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di
dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka
ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Seorang tersangka, terdakwa,
terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan,
penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan,
penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak
seharusnya dilakukan kepada tersangka oleh aparat penegak hukum) atas dirinya
tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan. Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah
tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat
mengajukan praperadilan (sebelum pengadilan dimulai). Seorang tersangka atau
terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya/sesuka-suka
dia, karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan
ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5.000,- dan maksimal Rp. 1 juta atau Rp.3 juta (jika tindakan aparat
penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat). Apabila
permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu
sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan
diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan
praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang
berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus
sudah menetapkan hari sidang,.
Hakim dalam praperadilan hanya
berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama
selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas
permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut. Jika terdakwa
bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas
berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima
pengadilan negeri harus menentukan hakim
yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian)
sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani
perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya
hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena
hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti
kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama.
Bentuk putusan tersebut berupa
penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan
atas permohonan ganti kerugian. Setelah penetapan dikeluarkan maka akan
dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai
eksekusi. Prosesnya adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri setempat
yang memeriksa perkara tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana kepada
menteri kehakiman c.q. sekretaris jenderal depkeh yang
selanjutnya akan meneruskan kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat
keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan
disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan
pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan
setempat. Jadi pada dasarnya terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang
melaksanakan segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan
memakan waktu sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.
Ganti kerugian karena perbuatan
aparat penegak hukum syarat-syaratnya antara lain adanya penghentian
penyidikan, penghentian penuntutan, dsb yang diminta melalui praperadilan. Tapi
tanpa praperadilan pun bisa yaitu melalui permohonan permintaan ganti kerugian
yang jumlahnya minimal adalah Rp.5000,- dan maksimal 1 juta rupiah, sementara
kalau misalnya ada cacat tetap maupun tidak itu maksimalnya 3 juta rupiah.
Prosedur untuk permintaan ganti
kerugian melalui praperadilan itu berbarengan, bersamaan dengan gugatan
praperadilan. Sementara prosedur permintaan ganti kerugian diluar praperadilan
itu diajukan kepada PN yang memeriksa perkara atau kasus tersebut. Dasar hukum
adanya ganti kerugian karena perbuatan terdakwa adalah Pasal 98 ayat (1) KUHAP
yang menyebutkan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam
pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka
hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara ganti kerugian itu kepada perkara pidana. Ganti kerugian
karena perbuatan terdakwa diajukan oleh korban. Korban disini bisa korban atas
perbuatan (misalnya terdakwa melakukan perbuatan tindak pidana yang
mengakibatkan luka berat atau meninggal yang disebabkan karena pengeroyokan
atau kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama) atau misalnya pelanggaran
terhadap pasal 187/188 KUHP (kebakaran yang disebabkan karena kelalaian atau
kesengajaan terdakwa), kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang menimbulkan
kerugian, kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan termasuk penganiayaan,
pembunuhan.
Intinya adalah
kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan korban tersebut mendapatkan
kerugian. Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada
perkara pidana. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti
kerugian tersebut. Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui
hukum acara perdata, namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan
ganti kerugian digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti
kerugian ini hanya terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh
pihak yang dirugikan. Artinya kalau misalnya
korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit, maka hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta
ganti kerugian. Jika korban mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril
karena dirinya cacat, maka gugatan immaterilnya itu harus diajukan sebagai
perkara perdata biasa dan tidak bisa digabungkan ke perkara pidana. Jika tindak
pidana dilakukan oleh banyak orang (tindak pidana massal) maka polisi akan
mencari siapa-siapa saja yang menjadi tersangka/terdakwa sebagai orang yang
bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada tersangka/terdakwa itulah ganti
kerugian dimintakan. Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu perkara
pidana ini merupakan suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada
korban KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti
kerugian. Gugatan ganti kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun
diajukan pada saat perkara pidana ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya
lebih cepat. Ganti kerugian yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan
dengan proses pemeriksaan terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut
umum mengajukan tuntutannya atau requisitornya. Bisa juga dia tidak
mengajukannya sendiri melainkan meminta tolong kepada jaksa penuntut umum untuk
memasukkan permohonan ganti kerugian dalam tuntutannya. Namun hal ini sangat
jarang terjadi.
Dalam persidangan dengan acara
cepat (seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik,
penghinaan ringan, tindak pidana ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa
adanya jaksa penuntut umum, korban dapat mengajukan permintaan ganti kerugian
setidak-tidaknya sebelum hakim memutus perkara tersebut. Dalam hal penggabungan
perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti kerugian dilakukan menurut
hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana dapat membayar ganti
kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri Kehakiman pihak
korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis kepada ketua PN
yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian itu dieksekusi.
Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggill terpidana untuk
membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu atau tidak bisa
membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak milik terpidana
sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang
bergerak tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat menetapkan
penyitaan eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak.
Jadi dalam eksekusi pidana
pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara penggabungan
pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan untuk
masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu
dengan juru sita. Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti
kerugian diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah
dikeluarkan, maka putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat
diterima dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya
lebih dari jumlah yang dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata
biasa, maka korban dapat mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak
digabungkan dengan pidananya, korban dapat langsung menggugat secara perdata
saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak dapat diterima gugatan tersebut
tanpa adanya embel-embel perintah untuk mengajukan secara perdata.
Hal ini bisa dibilang
menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau memang tidak dapat diterima
tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka korban tidak bisa
mengajukan secara perdata.
2.6 PENGERTIAN
REHABILITASI
Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir
ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang
diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk
memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah
sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan,
penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang
dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut
undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah
pengadilan baik melalui proses persidangan biasa maupun melalui proses
persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada
terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari
segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang melalui
proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan,
(pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh
tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan
yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14
hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan
diberitahukan kepada pemohon.
Apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum atau apabila permohonan pemohon dalam praperadilan
dikabulkan pengadilan, maka dalam amar putusan harus dicantumkan pemberian
rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya”.
Jadi bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, tidak perlu mengajukan permohonan
rehabilitasi karena pemberian rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus
diberikan oleh pengadilan yang memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar
putusannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Hukum
acara pidana merupakan hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui
organ-organnya melaksanakan fungsi dan kewenangannya untuk memproses, dan
menjatuhkan pidana kepada siapa yang terbukti melakukan tindak pidana. Dengan
kata lain hukum acara pidana adalah hokum yang mengatur tentang proses
peradilan pidana atau dapat pula disebut aturan hukum pidana yang dibentuk
untuk mempertahankan hokum pidana materiil.
Pra
artinya sebelum, atau mendahului, berarti “praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi
fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi
hakim komisaris (Rechter commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction
di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah
tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan
pendahuluan atas suatu perkara.
kedudukan Praperadilan adalah sebagai suatu pengadilan
umum dengan wewenang khusus yang terbatas, yakni mempunyai acara sendiri yang
agak berbeda dengan proses pidana biasa. Perbedaan yang terlihat adalah,
berbeda dengan proses pidana umum dan khusus, proses Praperadilan tidak
mengenal penuntut umum.
Ruang lingkup kompetensi lembaga Praperadilan berdasarkan
Pasal 77 KUHAP adalah pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, yaitu tentang:
1.
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2.
Ganti kerugian atau rehabilitasi yang
berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Praperadilan berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHAP merupakan lembaga yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri seperti yang dijelaskan pada pasal
sebelumnya yaitu Pasal 77 KUHAP. Untuk mengetahui ruang lingkup Praperadilan,
dibawah ini merupakan rincian wewenang yang diberikan undang-undang.
Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak
seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan
sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1
butir ke-22 KUHAP).
Dalam
ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak
mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum
itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun
penuntutan atas perkaranya dia.
Tersangka
atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan.
Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah,
maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini
karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu
3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di
dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka
ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut
pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada
tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum
yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk
memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah
sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan,
penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang
dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut
undang-undang.
Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah
pengadilan baik melalui proses persidangan biasa maupun melalui proses
persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada
terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari
segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang melalui
proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan,
(pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh
tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan
yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14
hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan
diberitahukan kepada pemohon.
3.2 SARAN
Makalah
ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Sofyan. 2013. Hukum
Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: PT. Rangkang
Education
Hamzah Andi. 2007. KUHP&KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM
Press, 2003.
Ratna
Nurul Alfiah. 1986. Praperadilan dan
Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV. Akademika Presindo.
Yahya, Harahap, M, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP,
Sinar Grafika, 2002
Jammin' Jars Casino | Jackson, MS Jobs | JetBlue
BalasHapusJammin Jars 계룡 출장안마 Casino 익산 출장마사지 · 거제 출장안마 Additional 전주 출장안마 details. Phone: 877-861-7777. Jobs available: 1-800-765-7100. Jax: 상주 출장안마 877-861-7777.